Wednesday, March 5, 2014

Dasar Syiah - Nikah Anak Sendiri



Nikah mut’ah adalah pernikahan tanpa batas yang haram hukumnya dengan melanggar
aturan-aturan syariat yang suci, mut’ah ini telah melahirkan banyak kisah pilu.
Tidak jarang pernikahan ini menghimpun antara anak dan ibunya, antara seorang
wanita dengan saudaranya, dan antara seorang wanita dengan bibinya, sementara
dia tidak menyadarinya.
Di antaranya adalah apa yang dikisahkan Sayyid Husain
Al Musawi, seorang tokoh Syi’ah murid Ayatullah Ruhullah Al Khumaini yang
kemudian bertaubat dan masuk ke Sunni.Ia menceritakan dalam kitab Lillahi Tsumma
Lil Tarikh:

Kisah Pertama

Seorang perempuan datang kepada
saya menanyakan tentang peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Dia
menceritakan bahwa seorang tokoh, yaitu Sayyid Husain Shadr pernah nikah mut’ah
dengannya dua puluh tahun yang lalu, lalu dia hamil dari pernikahan
tersebut.

“Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa
waktu saya dikarunia seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa dia hamil dari
hasil hubungannya dengan Sayyid Shadr, kerana pada saat itu tidak ada yang nikah
mut’ah dengannya kecuali Sayyid Shadr.”

“Setelah anak perempuan saya
dewasa, dia menjadi seorang gadis yang cantik dan siap untuk
nikah.”

Namun sang ibu mendapati bahwa anaknya itu telah hamil. Ketika
ditanyakan tentang kehamilannya, dia mengabarkan bahwa Sayyid Shadr telah
melakukan mut’ah dengannya dan dia hamil akibat mut’ah tersebut. Sang ibu
tercengang dan hilang kendali dirinya lalu mengabarkan kepada anaknya bahwa
Sayyid Shadr adalah ayahnya. Lalu dia menceritakan selengkapnya mengenai
pernikahannya (ibu si wanita) dengan Sayyid Shadr dan bagaimana bisa hari ini
Sayyid Shadr menikah dengan anaknya dan anak Sayyid Shadr juga?!Kemudian dia
datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan
anak yang lahir darinya.

Sesungguhnya kejadian seperti ini sering
terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang
di kemudian hari diketahui bahwa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah
mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mut’ah dengan istri
bapaknya.

Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya. Kami
membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang
tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan
mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)

Kalaulah mut’ah dihalalkan,
niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu
sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan
menganjurkan untuk melakukan mut’ah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada
terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat.

Kisah
Kedua


Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui di kantornya.
Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki menemui kami, mereka memperdebatkan suatu
masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk
mendapatkan jawaban darinya.

Salah seorang di antara mereka bertanya,
“Wahai Sayyid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”Imam
Al Khaui melihat lagaknya, ia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia
berkata kepadanya, “Dimana kamu tinggal?”

Maka dia menjawab, “Saya
tinggal di Mosul, kemudian tinggal di Najaf semenjak sebulan yang lalu.”Imam
berkata kepadanya,

“Kalau demikian berarti Anda adalah seorang
Sunni?”Pemuda itu menjawab, “Ya!”Imam berkata,

“Mut’ah menurut kami
adalah halal, tetapi haram menurut kalian.

”Maka pemuda itu berkata
kepadanya,

“Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian,
maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya
kembali kepada keluargaku.

”Maka sang imam membelalakkan matanya sejenak,
kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para
pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”

Si
pemuda menatap Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan
pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah (berbohong untuk
membela diri).

Kedua pemuda itu pun berdiri dan pergi. Saya meminta izin
kepada Imam Al Khaui untuk keluar.Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya
mengetahu bahwa penanya adalah seorang Sunni dan sahabatnya adalah seorang Syi’i
(pengikut Syiah). Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia
halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakan kepada rujukan agama,
yaitu Imam Al Khaui.

Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi,
pemuda yang berpaham Syiah berontak sambil mengatakan,

“Wahai orang-orang
durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami,
dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri
kepada Allah, namun kalian mengharamkan kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak
perempuan kalian?”

Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah
untuk pindah kepada madzhab Ahlus Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya,
kemudian saya bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan
tentang dalil-dalilnya.



Sumber: di sini

No comments:

Post a Comment